71 Petugas Pemilu 2024 Wafat, Pelaksanaan Pemilu Serentak Harus Dievaluasi

- 19 Februari 2024, 21:56 WIB
WARGA memakamkan Entis Tisna (62) anggota KPPS Perumnas Hegarmanah, Karangtengah, Cianjur, Senin, 22 April 2019. Entis menjadi satu dari empat petugas KPPS yang gugur saat bertugas mengawal proses Pemilu 2019. Diketahui, empat anggota KPPS meninggal dunia karena kelelahan setelah bekerja berhari-hari.*/SHOFIRA HANAN/PR
WARGA memakamkan Entis Tisna (62) anggota KPPS Perumnas Hegarmanah, Karangtengah, Cianjur, Senin, 22 April 2019. Entis menjadi satu dari empat petugas KPPS yang gugur saat bertugas mengawal proses Pemilu 2019. Diketahui, empat anggota KPPS meninggal dunia karena kelelahan setelah bekerja berhari-hari.*/SHOFIRA HANAN/PR /SHOFIRA HANAN/

MANADOKU.COM – Petugas Pemilu 2024 yang meninggal dunia kini berjumlah 71 orang, sedangkan yang sakit sudah lebih dari 4.500 orang.

Jumlah tersebut sesuai dengan data yang dibeberkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Senin 19 Februari 2024.

Dari 71 orang yang meninggal itu, satu orang di antaranya merupakan anggota panitia pemilihan kecamatan (PPK).

Sementara anggota panitia pemungutan suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan sekitar empat orang.

Baca Juga: Kapan KPU Umumkan Hasil Pemilu 2024 Secara Resmi? Jangan Salah!

Adapun Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS yang meninggal dunia sebanyak 42 orang.

Sedangkan anggota Satuan Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang meninggal sekitar 24 orang saat menjaga keamanan kegiatan pemungutan dan penghitungan suara.

Sementara petugas Pemilu 2024 yang sakit, sebutnya, mencapai 4.567 orang. Rinciannya, pada tingkat kecamatan atau anggota PPK 136 orang, di tingkat PPS 696 orang, KPPS ada 3.371 orang, dan Linmas 364 orang.

Di pihak lain, dalam data Kementerian Kesehatan hingga 17 Februari, pukul 18.00 WIB, tercatat ada 57 petugas Pemilu 2024 yang telah wafat di sejumlah provinsi berbeda.

Jumlah itu mencakup anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), petugas perlindungan masyarakat (Linmas), saksi dan pengawas tempat pemungutan suara (TPS).

Pemilu Nasional dan Lokal harus dipisahkan

Meski jumlahnya tidak sebanyak saat Pemilu 2019, namun hal ini sepertinya harus menjadi salah satu bahan evaluasi KPU.

Tidak hanya sekadar evaluasi menyeluruh, para pakar bahkan menyerukan pemisahan antara pemilu di tingkat nasional dan lokal.

Khoirunnisa Nur Agustyati, direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengatakan bahwa perlu ada evaluasi menyeluruh dan perubahan model pemilu di Indonesia.

"Kalau mau ada perubahan, harus direformasi total. Nggak bisa lagi pemilu dengan model lima kotak suara seperti ini. Nggak sehat," ujarnya.

Sebelumnya, empat orang petugas pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No. 7/2017 yang mengatur pelaksanaan pemilu setiap lima tahun sekali secara serentak, yang meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, pada tahun 2021.

Saat itu, mereka meminta ketentuan soal pemilu serentak dengan lima kotak suara sekaligus dibatalkan, dengan pertimbangan banyaknya korban jiwa pada pemilu 2019.

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah memisahkan pemilu legislatif daerah untuk memilih anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dengan pemilu nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR dan DPD.

Namun, Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan tersebut, karena argumen soal beban kerja tinggi para petugas pemilu di lapangan disebut terkait dengan manajemen pemilu yang menjadi tanggung jawab penyelenggara.

Neni Nur Hayati dari DEEP Indonesia juga menyuarakan pemisahan waktu pelaksanaan antara Pemilu Nasional dan Pemilu lokal.

Selain itu, desakan untuk memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu lokal juga disebabkan ada risiko lain yang muncul.

Risiko yang muncul itu adalah para pemilih kerap hanya fokus pada kandidat presiden dan wakil presiden, sehingga para calon anggota legislatif atau caleg pun jadi terlupakan.

Akhirnya, kata Neni, saat masuk ke bilik TPS, pemilih bingung menghadapi banyaknya pilihan caleg dan cenderung memilih selebriti yang wajahnya dirasa familier.

"Padahal, sebetulnya secara kapasitas, secara politik gagasan, mereka (caleg artis) sama sekali kurang. Ini yang sebenarnya sangat disayangkan," kata Neni.

"Karena masyarakat bingung, ya sudah akhirnya masyarakat coblos saja yang mereka tahu, yang mereka kenal."

Menurut mereka, ini harus dilakukan segera, mumpung masih ada lima tahun sebelum pemilu selanjutnya pada 2029. Apalagi, pembahasan revisi UU bisa berlangsung tahunan, kata Khoirunnisa.

Namun, Khoirunnisa menilai ide ini sulit diterapkan. Apalagi, hanya ada satu pengawas dan saksi partai politik yang bertugas di tiap TPS, sehingga sulit untuk mengawasi proses penghitungan di dua panel berbeda.

"Jadi ya memang desain keserantakannya yang menurut saya perlu diubah untuk bisa meminimalisir petugas kelelahan itu," tegasnya, seperti dikutip dari BBC Indonesia.***

Editor: Sahril Kadir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah