Arti Golput dan Sejarahnya di Pemilu Indonesia

- 13 Februari 2024, 07:35 WIB
Ilustrasi Arti Golput dan Sejarahnya di Pemilu Indonesia
Ilustrasi Arti Golput dan Sejarahnya di Pemilu Indonesia /Antaranews/

MANADOKU.COM - Istilah "golput" sering muncul di tengah masyarakat saat menjelang hari H pemilihan umum (Pemilu) atau pemilihan kepala daerah (Pilkada). Bahkan kini istilah ini juga tak jarang terdengar ketika suksesi pada sebuah organisasi kemasyarakatan.

Hal itu pula yang terjadi menjelang hari pencoblosan 14 Februari 2024. Para pejabat negara beramai-ramai mengkampanyekan kepada masyarakat agar jangan golput.

Penggunaan istilah ini memang bukan nanti sekarang muncul bahkan terdengar sangat familiar di telinga masyarakat. Apalagi, dari tahun ke tahun, golput selalu menjadi persoalan.

Namun apa sebenarnya arti dari istilah "golput"? Berikut ini ulasan sederhana tentang arti dan sejarah istilah "golput" di Indonesia.

Baca Juga: Sejarah Pengunaan Paku sebagai Alat Mencoblos di Pemilu

Arti 'Golput'

Dikutip MANADOKU.COM dari Pusat Edukasi Antikorupsi, golput atau golongan putih identik dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik.

Sikap tersebut kemudian berujung pada tidak memilih berangkat ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan suaranya atau melakukan pencoblosan.

Dengan demikian, golput merupakan sebuah pilihan warga negara yang telah masuk sebagai pemilih untuk tidak memilih atau ikut dalam pemilu, yang berarti tidak menggunakan hak suara dalam pemilu.

Sejarah 'Golput'

Istilah 'golput' mulai terdengar ketika menjelang Pemilu 1971, yang diproklamirkan sebagai gerakan moral oleh sekelompok mahasiswa, pemuda dan pelajar meriung di Balai Budaja Djakarta, pada 3 Juni 1971.

Tokoh-tokoh yang menjadi motor penggerak gerakan itu di antaranya adalah Adnan Buyung Nasution dan Arief Budiman.

Arief Budiman dalam bukunya, Tukang Kritik Profesional (2020), menulis bahwa kelompok ini merasa aspirasi politiknya tidak terwakili oleh wadah politik formal waktu itu“

Saat itu, mereka menyerukan kepada orang-orang yang tidak mau memilih partai politik dan Golkar saat itu, untuk menusuk bagian yang kosong di antara sepuluh tanda gambar yang ada.

Bertahun-tahun kemudian, Arief mengungkapkan bahwa gerakan golput dilahirkannya karena menilai Pemilu 1971 tidak demokratis. Pemerintah dianggap membatasi jumlah partai.

Selain itu, dalam penuturannya, istilah golput sebenarnya datang dari rekan Arief, Imam Waluyo yang ikut serta dalam gerakan itu.

Sejak saat itu, golput selalu menjadi persoalan. Apalagi, tidak semua keputusan golput berangkat dari gerakan moral atau idealisme yang murni. Ada juga yang memilih golput karena kondisi yang memaksa dirinya tak mencoblos.

Sejak Pemilu 2004, angka golput pada Pemilu 2019 termasuk yang terendah. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah masyarakat golput pada 2019 hanya sebanyak 34,75 juta atau sekira 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar.

Sedangkan pada Pemilu 2014, data BPS menunjukkan jumlah golput sebanyak 58,61 juta orang atau 30,22 persen dari total jumlah pemilih yang terdaftar.

Adapun pada Pemilu 2024 ini, berdasarkan hasil survei Centre for Strategic and International (CSIS), sebanyak 11,8 persen responden memilih untuk golput.***

Editor: Sahril Kadir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini