Catatan Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado Ambrosius M Loho: Kolintang Goes To UNESCO

- 2 Maret 2022, 07:41 WIB
Penulis: Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Filsafat-Seni, Praktisi Musik Kolintang
Penulis: Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Filsafat-Seni, Praktisi Musik Kolintang /dokumen penulis. /

MANADO HITS- Dalam laman website beritamanado terdapat sebuah statement yang cukup memantik penulis untuk menguraikan paparan sederhana ini.

Kendati begitu, latar belakang catatan itu, adalah persoalan pengajuan musik kolintang ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia, yang menempuh metode ‘joint submission’.

Metode ini, dalam catatan Wilar di laman tersebut, katanya harus ditolak, karena alasan yang sebetulnya tidak sangat signifikan menurut ukuran tertentu.

Namun demikian, apapun itu, tentu harus juga direspon secara lebih elegan dan santun, dengan jawaban yang sederhana pula.

Baca Juga: Sandiaga Uno: Kemenparekraf RI akan Kawal Musik Kolintang Jadi Warisan Budaya Dunia Unesco

Maka atas dasar itu, penulis mencoba menegaskan lagi, apa yang sudah penulis publikasikan di pojok seni, sebuah media seni yang mewadahi berbagai isu-isu tentang seni termasuk budaya di Indonesia.
 
Catatan penulis adalah sebagai berikut:
Pertama, tanggapan untuk menolak, menurut ukuran penulis, tidak memiliki dasar  yang kuat.

Mengapa demikian karena desakan beliau terutama untuk penyusunan naskah akademik yang baru, justru sedang diupayakan sampai saat ini.

Yang juga mencakup kajian-kajian dari berbagai ilmu pengetahuan yang terkait dengan musik kolintang itu.

Baca Juga: Renungan Harian Keluarga GMIM, 2 Maret 2022: Kristus yang Tak Terbagi

Kedua, penolakan beliau atas metode ‘joint submission’ itu, semakin tidak jelas dasarnya.

Karena beliau mendasarkan pada perbedaan bahan dasar kolintang kayu Minahasa dan kolintang dari Negara yang akan ‘joint submission’.

Apakah beliau tahu yang sudah diupayakan saat ini adalah tetap mengusung kolintang kayu Minahasa?
 
Ketiga, pilihan untuk ‘join submission’ bukan pilihan tim pengusul.

‘Joint submission’ adalah keputusan dari Juri yang dipercayakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Baca Juga: PRAKIRAAN CUACA, 2 Maret 2022: 11 Wilayah di Sulawesi Utara Ini Waspada Hujan dan Angin Kencang

Juga karena upaya untuk mengajukan ke UNESCO besar kemungkinan adalah melalui metode ini.

Kendati begitu, upaya ini tidak kemudian meninggalkan originalitas dari musik kolintang yang asli Minahasa yakni kolintang kayu.
 
Keempat, terhadap catatan Wilar, Luddy Wulur, seorang seniman kolintang, menyatakan bahwa: Pengusulan dengan model ‘joint submission’, sama sekali tidak merubah originalitas kolintang kayu Minahasa.

Karena yang diusulkan adalah kolintang bukan kulintang (kulintang lebih condong menunjuk kepada alat musik yang berbahan dasar logam).

Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa, kolintang adalah istilah bunyi-bunyian kayu orang Minahasa yang sesuai dengan filosofi yang hidup dalam ekosistem di Minahasa (Waleposan).

Baca Juga: Kental Budaya Papua, Nowela Ceritakan Pengalaman Hidup Lewat Lagu Baru Berjudul RUNNIN: Ini Liriknya

Yang juga secara komprehensif hidup di masyarakat Minahasa. Sedangkan Kulintang justru bermakna bunyi yang berasal dari tembaga atau besi.
 
Kelima, maka sebagai dasar yang menguatkan bahwa istilah yang benar adalah kolintang yakni Penetapan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB)

oleh Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI dengan sertifikat Nomor Registrasi 204755/MPK.F/DO/2-13, tertanggal 16 Desember 2013.

Di dalamnya dengan jelas dituliskan “Kolintang”: Warisan Budaya Tak Benda.

Baca Juga: Renungan Harian Katolik, 2 Maret 2022: Pertobatan yang Sejati, Bacaan Alkitab Matius 6:3

Keenam, di sisi yang sama, Naskah Akademik yang telah dipresentasikan pada tanggal 15 Februari 2022, sesuai undangan Kemendikbud oleh Tim Penyusun yang sangat meyakinkan Juri/panitia.

Saat itu, menyarankan agar Kolintang diusulkan lewat ‘join submission’ untuk bisa lolos.

Hal ini ditempuh karena menurut pandangan UNESCO budaya musik kolintang yang beragam, terdapat di beberapa negara termasuk Indonesia dan Filipina.

Dan bagi UNESCO hal ini menjadi prioritas mereka. Adapun tim penyusun/presentator diketuai oleh Franki Raden, Ph.D. seorang Etnomusikolog.

Maka dengan demikian, keputusan untuk “joint submission”, bukan karena pilihan satu-satunya, tetapi juga didasarkan pada pertimbangan UNESCO dan penilaian akhir Juri (Kemendikbud).

Baca Juga: Awas! Sanksi Kurungan dan Denda Rp3 Juta Bagi Pelanggar Operasi Keselamatan Samrat 2022: Ini Aturan Lengkapnya

Oleh karena itu maka semua prosedur yang telah berlangsung selama ini merupakan upaya untuk tetap mengusulkan keaslian dan kekhasan musik kolintang kayu Minahasa ke UNESCO.

Akhirnya, catatan beliau tentu dapatlah dilihat sebagai sebuah catatan saja, dan tidak lebih dari itu.

Karena faktanya, prosedur yang ditempuh sejauh ini, adalah sesuai dengan saran dan masukan dari UNESCO sendiri dan berdasarkan catatan penilaian dari Kemendikbud RI yang merekomendasikan para juri yang handal.

Demikianlah tulisan ini semoga menjadi pencerahan yang bisa membuka cakrawala berpikir kita.

Bahwa originalitas musik kolintang tidak ditinggalkan kendati kita mengusulkan ke UNESCO secara ‘joint submission’. Kolintang Goes to UNESCO. ***

Editor: Valentino Warouw


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

x