Jumlah itu mencakup anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), petugas perlindungan masyarakat (Linmas), saksi dan pengawas tempat pemungutan suara (TPS).
Pemilu Nasional dan Lokal harus dipisahkan
Meski jumlahnya tidak sebanyak saat Pemilu 2019, namun hal ini sepertinya harus menjadi salah satu bahan evaluasi KPU.
Tidak hanya sekadar evaluasi menyeluruh, para pakar bahkan menyerukan pemisahan antara pemilu di tingkat nasional dan lokal.
Khoirunnisa Nur Agustyati, direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengatakan bahwa perlu ada evaluasi menyeluruh dan perubahan model pemilu di Indonesia.
"Kalau mau ada perubahan, harus direformasi total. Nggak bisa lagi pemilu dengan model lima kotak suara seperti ini. Nggak sehat," ujarnya.
Sebelumnya, empat orang petugas pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No. 7/2017 yang mengatur pelaksanaan pemilu setiap lima tahun sekali secara serentak, yang meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, pada tahun 2021.
Saat itu, mereka meminta ketentuan soal pemilu serentak dengan lima kotak suara sekaligus dibatalkan, dengan pertimbangan banyaknya korban jiwa pada pemilu 2019.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah memisahkan pemilu legislatif daerah untuk memilih anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dengan pemilu nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR dan DPD.
Namun, Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan tersebut, karena argumen soal beban kerja tinggi para petugas pemilu di lapangan disebut terkait dengan manajemen pemilu yang menjadi tanggung jawab penyelenggara.
Neni Nur Hayati dari DEEP Indonesia juga menyuarakan pemisahan waktu pelaksanaan antara Pemilu Nasional dan Pemilu lokal.