7 Potensi Kecurangan saat Pemungutan Suara Pemilu 2024 Versi KIPP

7 Februari 2024, 09:56 WIB
7 Potensi Kecurangan saat Pemungutan Suara Pemilu 2024 Versi KIPP /Prasetia Fauzani/ANTARA FOTO

MANADOKU.COM - Potensi kecurangan saat proses pemungutan suara Pemilu 2024 masih cukup terbuka. Bahkan menurut Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyatakan bahwa potensi kecurangan saat pencoblosan hingga penghitungan surat suara pada Pemilu 2024 jauh lebih besar dari tahun 2019.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIPP Kaka Suminta mengatakan, bahwa ada tujuh bentuk kecurangan yang bisa terjadi di lapangan, saat proses pemungutan suara atau pencoblosan hingga penghitungan suara Pemilu 2024 berlangsung.

Beberapa di antaranya juga sudah menjadi rahasian umum. Seperti beli suara hingga mobilisasi pemilih yang mengklaim masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK).

Makanya, peranan Pengawas TPS menjadi sangat krusial dalam mengawasi proses pemungutan dan penghitungan suara, karena mereka harus jeli dalam memastikan tidak ada yang mengalami cacat prosedur.

Baca Juga: Hari Pemungutan Suara Pemilu 2024 Resmi Jadi Hari Libur Nasional

Lalu apa saja bentuk kecurangan yang bisa terjadi saat pemungutan suara pada Pemilu 2024 versi KIPP? Berikut ulasannya:

Beli suara

Kaka Suminta mengatakan bahwa praktik beli suara merupakan modus kecurangan konvensional yang selalu berlangsung pada setiap Pemilu. Makanya, bentuk kecurangan yang satu ini dipastikan akan terjadi, meski bisa saja mengalami modifikasi.

Salah satu contohnya, calon anggota legislatif menjanjikan 'uang transportasi' jika pemilih yang berada di dekat lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) memilih dia.

'Uang transportasi' itu, kata Kaka, bakal diberikan lagi begitu pemilih dipastikan telah mencoblos namanya di surat suara dengan bukti berupa foto atau video.

Untuk besaran uang yang diberikan, ungkap Kaka, bervariasi dan biasanya dilakukan di daerah yang minim pengawasan.

Menyuap KPPS hingga tingkat Kecamatan

Petugas penyelenggara pemilu, mulai dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) memiliki peran yang sangat krusial, khususnya ketika penghitungan suara. Karena itu, mereka menjadi "rawan digoda untuk berbuat curang".

Kecurangan yang biasanya terjadi, beber Kaka," petugas KPPS ditawari uang agar mau 'mentransfer perolehan suara' dari caleg yang tak punya saksi di TPS.

"Jadi caleg yang tidak punya saksi itu berpotensi mengalami pengurangan atau pengalihan suara ke calon yang menguasai TPS itu dan diperkuat adanya pemberian uang."

Intimidasi penyelenggara pemilu

Menurut Sekjen KIPP, intimidasi dari aparatur negara kepada penyelenggara pemilu akan menjadi fenomena kecurangan yang dikhawatirkan bakal meningkat di Pemilu 2024.

Bahkan, lanjutnya, dalam pertemuannya dengan petugas pemilu di daerah, mereka mengaku merasa tidak nyaman dengan kehadiran langsung aparat polisi, TNI, maupun aparatur desa saat menggelar rapat.

Padahal, pada pemilu-pemilu sebelumnya tak ada aparat yang datang. Mereka biasanya memantau lewat kamera CCTV yang terpasang di kantor KPU daerah.

"Para petugas pemilu ini agak kurang bebas ketika dalam acara-acara rapat ada aparat datang. Walau sah-sah saja ada polisi atau tentara, cuma ada ketidaknyaman."

Dia khawatir, kehadiran fisik aparat polisi/TNI maupun aparatur desa/kecamatan/kelurahan yang menjadi kader partai tertentu mendatangi TPS.

Di sana, aparatur pemerintahan bisa saja mendekati pemilih dan secara terselubung mengajak agar memilih calon tertentu.

Indikasi kecurangan informasi teknologi Sirekap

KPU akan memanfaatkan Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) pada Pemilu 2024, yang berfungsi membantu sistem rekapitulasi, perhitungan, hasil perhitungan suara berjenjang (kabupaten/kota, provinsi) sampai ke pusat. Caranya dengan memasukkan data ke sistem komputer.

Sirekap juga menjadi alat bantu dalam mendokumentasikan hasil perolehan suara sementara di TPS dan untuk menyampaikan hasil perhitungan suara sementara secara cepat kepada publik.

Masalahnya, menurut Kaka, Sirekap digunakan oleh petugas pemilu mulai dari KPPS dan PPK belum jelas betul. Pun dengan aturan mainnya.

Potensi kecurangan semakin terlihat saat ada perbedaan jumlah suara antara yang tersimpan di sistem komputer Sirekap dan formulir C-1.

"Bagaimana kalau ternyata jumlah suara di sistem komputer dan di formulir C-1 berbeda? Mana yang dipakai? Di sinilah sumber permasalahan dan kecurangannya."

Mobilisasi pemilih yang diklaim masuk Daftar Pemilih Khusus

Kaka Suminta menjelaskan bahwa ada perbedaan pengertian tentang Daftar Pemilih Khusus dalam Surat Edaran KPU nomor 66 dan Peraturan KPU (PKPU).

Surat Edaran menjelaskan, daftar pemilih khusus yang punya Kartu Tanda Penduduk boleh mencoblos meskipun bukan di tempat domisili. Sedangkan PKPU menyebut bahwa daftar pemilih khusus yang memiliki KTP bisa mencoblos asalkan tetap berada di wilayah domisili.

Menurut dia, celah ini bisa dimanfaatkan untuk mobilisasi pemilih. "Kalau ada orang berbondong-bondong dari industri, misalnya datang dalam jumlah banyak dan ada masalah administrasi, lalu dibolehkan menggunakan surat suara, ini kan namanya mobilisasi."

Kongkalikong mencoblos surat suara cadangan

Biasanya tersedia 2 persen surat suara cadangan di setiap TPS, yang menimbulkan potensi terjadinya praktik kongkalikong yang marak terjadi pada Pemilu 2019, berupa mencoblos surat suara cadangan tersebut.

Menurut Kaka, kecurangan ini tidak mungkin dilakukan hanya satu pihak saja, tapi "didesain secara sengaja" oleh calon atau parpol maupun tim capres tertentu kepada penyelenggara pemilu.

"Jadi aktor utamanya di situ penyelenggara pemilu."

Pada pemilu 2019, ungkapnya, praktik ini terjadi di Pilpres dan Pileg ketika perbedaan suara antarcalon sangat tipis, sehingga membutuhkan "suara tambahan" yang dicuri dari surat suara cadangan.

Penggelembungan suara saat jeda istirahat

Jeda istirahat makan siang menjadi waktu paling rawan terjadinya kecurangan berupa penggelembungan suara. Waktu yang cukup panjang itu di mana TPS tak ada yang mengawasi. Para saksi pun biasanya lengah saat jam istirahat. Di situlah surat suara yang lebih bisa dicoblos untuk kepentingan pihak tertentu.***

Editor: Sahril Kadir

Tags

Terkini

Terpopuler