Konflik Spasial di Pulau Rempang: Sebuah Tinjauan Kritis

- 2 Oktober 2023, 09:15 WIB
Penulis: Agus Santoso Budiharso
Penulis: Agus Santoso Budiharso /Istimewa/

Pulau Rempang memiliki sejarah, kekayaan alam, dan potensi ekonomi yang menarik, namun juga menghadapi berbagai tantangan dan konflik, khususnya terkait dengan masalah kepemilikan dan penggunaan lahan.

Salah satu akar konflik spasial di Pulau Rempang adalah adanya perbedaan klaim atas lahan antara masyarakat setempat dan pemerintah daerah.

Masyarakat setempat telah menghuni dan mengelola lahan di pulau ini sejak lama, namun tidak memiliki sertifikat hak milik.

Sementara itu, pemerintah daerah juga memiliki klaim atas lahan di pulau ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 yang menetapkan wilayah BP Batam sebagai kawasan otorita (Sumber Kompasiana.com).

Kedua belah pihak sering kali memiliki pandangan yang berbeda mengenai legalitas dan legitimasi kepemilikan lahan ini, sehingga menimbulkan konflik.

Salah satu contoh konflik spasial yang terjadi di Pulau Rempang adalah rencana pembangunan kawasan ekonomi bernama Rempang Eco City oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), sebuah perusahaan yang dikaitkan dengan pengusaha nasional Tommy Winata (https://money.kompas.com/).

Proyek ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat yang ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.

Namun, proyek ini mendapat penolakan keras dari warga Pulau Rempang, karena akan mengakibatkan relokasi seluruh penduduk pulau yang berjumlah sekitar 7.500 jiwa (https://www.kompas.com/tren/read/2023/09/13/).

Warga menilai bahwa proyek ini tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan mereka, serta merampas hak mereka atas tanah leluhur.

Halaman:

Editor: Sahril Kadir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini