Sebuah Sanggahan 'Perempuan Haid Boleh Berpuasa'

- 2 April 2024, 06:30 WIB
Penulis: Musthafa Ma'ruf
Penulis: Musthafa Ma'ruf /

Dan penyataan di atas juga disepakati oleh 4 ulama mazhab. Bahwa tidak boleh berpuasa pada saat haid. Karena perempuan haid masih memiliki banyak waktu untuk mengqadha' puasa, lain halnya dengan sholat.

Si penulis juga menyinggung haid dalam surat Al-Baqarah ayat 222 "Mereka bertanya tentang haid. Katakanlah: "Dia (haid) adalah adza. Maka hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”

Menurut beliau, "Surah Al-Baqarah ayat 222 mencoba menggambarkan bahwa haid adalah hadas yang menyebabkan perempuan haid itu tidak suci. Pesan ini bisa menjadi alasan perempuan tidak harus sholat karena suci dari hadas adalah syarat wajib untuk shalat. Seorang muslim harus membersihkan badannya dari hadas dulu sebelum melaksanakan shalat."

Lanjutnya, "Sementara ibadah puasa tidak begitu, Puasa merupakan kegiatan menahan makan dan minum dari terbit fajar sampai matahari terbenam yang harus dilakukan muslim, tanpa harus suci dari hadas. Apabila selama proses puasa, seorang muslim menyentuh sesuatu yang najis, maka puasa yang dilakukan tidak batal."

Dari tulisan ini secara tidak langsung beliau berpendapat bahwa haid itu sama seperti hadas besar lainnya, yaitu junub. Akan tetapi menurut hemat saya sangat jelas terdapat perbedaan antara haid dan junub. Karena orang yang junub dapat langsung bersuci dari hadas besar sedangkan perempuan yang haid harus menunggu sampai selesai masa haidnya baru bisa bersuci.

Selanjutnya beliau juga menafsirkan kata "adza" yang ada dalam ayat tersebut berupa "hal yang menyakitkan (sakit)", penulis mencoba mengkomparasikan kata tersebut dengan Al-Baqarah ayat 185 "Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain."

Menurut beliau, perempuan yang haid sama halnya dengan orang yang sakit (karena haid dapat menyebabkan nyeri) sehingga beliau berpendapat apabila perempuan tersebut mampu menahan sakit maka wanita tersebut boleh berpuasa meskipun dalam keadaan haid. Pendapat ini menimbulkan konsekuensi hukum baru. Secara implisit si penulis menyatakan bahwa perempuan haid yang dapat berpuasa tidak dibebankan qadha’ puasa ketika Ramadan telah berlalu.

Sangat jelas terjadi bias konfirmasi padanya, karena mendudukkan dua ayat yang berbeda pembahasan, sehingga menyebabkan pengambilan kesimpulan yang kurang tepat. Kata "adza" yang seharusnya ditafsirkan secara khusus sebagai "darah kotor" malah ditafsirkan secara umum sebagai sebuah penyakit. Padahal haid tidak bisa digolongkan sebagai penyakit mengingat itu adalah siklus normal yang terjadi pada perempuan.

Dari hasil diskusi yang dilakukan, beliau juga dengan terang-terangan menolak adanya dasar hukum Ijma’ yang mengatakan bahwa perempuan haid memang tidak diperbolehkan melakukan puasa.

Dari rangkaian peristiwa di atas, seharusnya kita mulai bisa menyadari pentingnya mengambil landasan hukum Ijma’ dalam memutuskan suatu masalah yang berkaitan dengan syara' sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki dalam kitabnya "Syariatullah Al Khalidah", yang mana disebutkan bahwa Mashadirul Syariatul Islam (sumber hukum syariat Islam) ada empat: Al qur'an, Hadis, Ijma’, Qiyas.

Halaman:

Editor: Sahril Kadir


Tags

Artikel Pilihan

Terkini