Sejarah Kiblat dan Serba-serbinya, Bukan Sekadar Arah Menghadap Shalat

26 Maret 2024, 12:00 WIB
Ka'bah di Mekkah sebagai kiblat umat Islam. /pexels.com/@Yasir Gürbuz/

MANADOKU.COM - Kiblat tiba-tiba menjadi pembahasan hangat menyusul beredarnya poster film horor dengan judul serupa yang akan segera tayang di bioskop tanah air.

Banyak yang menganggap poster film "Kiblat" sebagai bagian dari eksploitasi terhadap salah satu aktivitas ibadah agama Islam, yakni shalat.

Selain itu, penolakan terhadap film ini juga disampaikan sejumlah pengurus MUI karena menilai justru akan memberikan rasa takut kepada masyarakat untuk menjalankan ibadah.

Lantas apa sebenarnya Kiblat itu dan bagaimana sejarahnya, berikut serba-serbinya yang harus Anda ketahui.

Baca Juga: Pengurus MUI: Gunakan Istilah dan Simbol Islam Pada Tempatnya!

Definisi Kiblat

Dalam bukunya yang berjudul "Ilmu Falak Praktis," Murtadho menjelaskan asal-usul kata "kiblat" yang berasal dari bahasa Arab, yaitu "qiblat," yang berasal dari kata "qabila," yang artinya acuan untuk menghadap.

Jadi, "qiblat" secara harfiah berarti hadapan, merujuk kepada sesuatu yang dihadapi oleh orang-orang.

Dalam konteks Syari’at Islam, istilah "qiblat" digunakan secara spesifik untuk menunjukkan arah yang dihadapi oleh umat Islam saat melakukan shalat.

Dengan kata lain, "kiblat" dapat diartikan sebagai arah menuju Ka’bah di Makkah melalui jalur terdekat, yang merupakan arah yang harus dihadapi oleh setiap muslim ketika melakukan shalat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, "kiblat" didefinisikan sebagai arah menuju Kakbah di Mekah yang harus dihadapi oleh umat Islam saat melakukan shalat.

Sejarah Kiblat Umat Islam

Kiblat, arah yang dihadapi dalam ibadah shalat umat Islam, memiliki sejarah yang kaya dan penting dalam agama. Dua tempat suci yang pernah dijadikan kiblat dalam shalat adalah Baitul Maqdis (Masjid Al-Aqsa) di Palestina dan Baitullah atau Ka’bah di Masjidil Haram Mekah. Meskipun Baitul Maqdis masih dianggap sebagai kiblat oleh kaum Yahudi, bagi umat Islam, kiblat utama adalah Ka’bah di Mekah.

Nabi Muhammad SAW sendiri awalnya menghadap kiblat Baitul Maqdis baik ketika berada di Mekah maupun di Madinah, selama sekitar 16 atau 17 bulan. Namun, kemudian turun wahyu yang menetapkan Ka’bah sebagai kiblat yang dikehendaki oleh Allah.

Pada awalnya, Nabi Muhammad SAW sering mendapatkan ejekan dari orang-orang Yahudi karena masih menghadap kiblat mereka. Hal ini membuat beliau tidak nyaman, sehingga memohon kepada Allah agar kiblatnya dialihkan ke Ka’bah. Permohonan tersebut dikabulkan dengan turunnya wahyu Surat Al-Baqarah: 142-150.

Peristiwa penting ini terjadi ketika Nabi Muhammad SAW sedang menjalankan shalat berjamaah di Masjid Bani Salamah di Madinah. Setelah menerima wahyu, Nabi Muhammad SAW dan para jamaah mengubah arah kiblat mereka ke Ka’bah di Mekah. Peristiwa ini kemudian membuat Masjid Bani Salamah dikenal sebagai Masjid Qiblatain, yang artinya Masjid dengan dua kiblat.

Perubahan kiblat ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah untuk menguji kesetiaan umat Islam kepada Nabi SAW, membedakan antara orang yang taat dan yang tidak, serta sebagai ujian keimanan. Selain itu, perubahan kiblat ini juga dimaksudkan untuk memperkuat mental umat Islam yang sering mendapat ejekan dari kaum Yahudi.

Ka’bah sendiri merupakan tempat ibadah yang paling utama dalam Islam, sering disebut sebagai Baitullah (rumah Allah). Bangunan Ka’bah berbentuk kubus dan terbuat dari batu-batu granit Makkah, memiliki dimensi yang khas. Menurut sejarah, Nabi Adam AS dianggap sebagai orang yang pertama kali mendirikan bangunan Ka’bah di bumi, yang kemudian ditinggikan ke langit setelah wafatnya.

Pada masa Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS, Ka’bah digunakan sebagai tempat ibadah utama umat Islam. Ka’bah juga menjadi pusat perhatian banyak orang, termasuk Abrahah, seorang gubernur di Najran, yang mencoba meniru bentuk Ka’bah dengan membangun bangunan serupa di Najran.

Namun, Ka’bah tetap dijaga dan dipelihara oleh berbagai suku dan kabilah di sekitar Makkah, termasuk oleh keluarga Nabi Muhammad SAW. Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad, terkenal karena menghiasi pintu Ka’bah dengan emas yang ditemukan ketika menggali sumur zam-zam.

Dari Ancaman Hancur Hingga Renovasi Megah

Ka'bah, sebagai pusaka purbakala yang memancarkan spiritualitas dan kesucian, pernah berada dalam ancaman serius. Al-Quran mencatat upaya Abrahah untuk menghancurkan Ka'bah dengan pasukan gajahnya, namun pasukan tersebut dihancurkan oleh burung yang melempari mereka dengan batu dari tanah berapi, meninggalkan mereka hancur seperti daun dimakan ulat.

Selain serangan Abrahah, Ka'bah juga terancam oleh kerusakan struktural akibat waktu yang tak kenal belas kasihan. Temboknya yang kuno mulai retak dan bengkok, bahkan pernah tergenang banjir yang mengakibatkan meretaknya dinding-dindingnya yang rapuh.

Dalam menghadapi tantangan ini, Quraisy bersama-sama memutuskan untuk merenovasi Ka'bah demi mempertahankan statusnya sebagai tempat suci. Renovasi dilakukan dengan partisipasi pemimpin kabilah dan tokoh masyarakat Quraisy.

Proyek renovasi ini mencakup pemecahan sudut-sudut Ka'bah menjadi empat bagian, di mana setiap kabilah bertanggung jawab untuk merenovasi satu sudut. Namun, ketika tiba pada tahap penempatan Hajar Aswad, perselisihan muncul mengenai siapa yang berhak meletakkannya.

Akhirnya, kepercayaan jatuh kepada Muhammad bin Abdullah, yang dikenal sebagai al-Amin, atau orang yang jujur dan dapat dipercaya, yang kemudian menjadi Rasulullah SAW.

Setelah penaklukan Makkah, kaum Muslimin mengambil alih pemeliharaan Ka'bah. Berhala-berhala yang melambangkan kemusyrikan di sekitarnya dihancurkan oleh kaum Muslimin, memulihkan kesucian tempat itu.

Sejarah Ka'bah mengajarkan keagungan Allah dalam melindungi tempat suci-Nya, serta menggambarkan kesatuan dan keberanian umat Islam dalam menjaga warisan agung ini.***

Editor: Sahril Kadir

Tags

Terkini

Terpopuler