3 Hal Sepele Namun Penting Terkait Buang Hajat Saat Puasa yang Harus Diperhatikan Agar Puasa Tetap Sah

6 April 2023, 15:00 WIB
3 Hal Sepele Namun Penting Terkait Buang Hajat Saat Puasa yang Harus Diperhatikan Agar Puasa Tetap Sah /Tangkapan Layar YouTube/Tinta Mahabbah

MANADOKU.com - Dalam menjalankan puasa, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memastikan puasa tidak batal.

Salah satu hal yang perlu dihindari adalah masuknya benda sekalipun hanya sedikit ke dalam bagian yang disebut jauf (rongga dalam) yang dilakukan dengan sengaja, oleh orang yang mengetahui hukumnya dan tidak terpaksa.

Namun, tidak hanya itu saja, karena buang hajat merupakan kegiatan yang tidak bisa dihindari, terdapat tiga hal sepele namun penting berkaitan dengan buang hajat yang perlu diperhatikan.

Baca Juga: 20 Quotes Ulama tentang Keutamaan Al-Quran, Mulai dari Imam Bukhari hingga Al-Ghazali

Jika tidak, puasa bisa jadi akan batal. Jadi, mari kita ketahui lebih lanjut tentang hal-hal tersebut agar puasa kita tetap sah dan diterima oleh Allah SWT.

Berikut tiga hal sepele terkait buang hajat namun harus diperhatikan untuk berhati-hati agar puasa tidak batal, sebagaimana dikutip dari nuonline, pada Kamis 6 April 2023.

Istinja' Perempuan

Selama berpuasa, perempuan perlu berhati-hati saat melakukan istinja' atau membersihkan diri setelah buang air kecil. Jika tidak, puasa dapat menjadi batal akibat tangan yang menyentuh bagian vagina saat melakukan cebok.

Ceboknya itu jika tidak berhati-hati dapat membatalkan puasa lantaran jarinya sampai melewati bagian vagina yang tampak saat jongkok.

Syekh Zainuddin Al-Malibari terkait hal itu mengatakan, "Dan sampainya jari wanita dikala istinja' hingga melewati bagian vagina yang tampak saat jongkok adalah membatalkan puasanya."

Buang Air Besar

Seseorang yang cebok dari buang air besar harus berhati-hati jangan sampai ujung jarinya masuk ke dalam dubur.

Syekh Nawawi Banten menjelaskan, "Seyogyanya untuk menjadi perhatian dikala istinja karena bilamana seseorang memasukan jarinya ke dalam batas minimumnya dubur dapat membatalkan puasanya."

Menurut Syekh Nawawi, batasan memasukkan sesuatu yang dapat membatalkan puasa ialah sampainya sesuatu yang masuk pada bagian yang tidak wajib dibasuh saat istinja' berbeda dengan anggota yang wajib dibasuh,  maka tidak membatalkan. "Semisal seseorang memasukkan jarinya untuk membasuh lipatan-lipatan pada dubur."

Memotong Tinja saat Buang Air Besar

Saat buang air besar, seringkali kita memotong proses ketika tinja masih keluar dan belum terpisah sepenuhnya. Kebiasaan ini dapat mengakibatkan sebagian tinja yang sebelumnya sudah keluar, masuk kembali ke dalam tubuh karena dipaksa berhenti.

Selain dapat menimbulkan masalah kesehatan pada jangka panjang, hal ini juga bisa membatalkan puasa sebagaimana penjelasan Al-Bujairimi dalam kitabnya Hasyiyatul Bujairami ’alal Khatib:

Artinya, "Dan semisal masuknya ujung jari adalah tinja yang keluar namun belum terpisah seluruhnya, kemudian ia menggabungkan duburnya (memutus tinja yang keluar) dan ada bagian dari tinjanya yang kembali masuk duburnya sekiranya nyata-nyata masuknya sebagian tinja tersebut setelah tampak keluar. Hal ini karena tinja keluar dari lambung bersamaan tidak adanya kebutuhan untuk mengabungkan duburnya (memutus tinja yang keluar)." (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujarirami, Hasyiyatul Bujairami ’alal Khatib, Beirut, Darul Fikr: tt, juz II, halaman 380).

Sederhananya, memotong tinja yang keluar namun belum sepenuhnya dapat membatalkan puasa, karena tindakan ini dapat dianggap sebagai memasukkan sesuatu ke dalam rongga dalam (jauf). Oleh karena itu, disarankan untuk menjadwalkan waktu buang air besar pada malam hari sebagai langkah pencegahan.

Namun, tentu saja hal ini harus dilakukan dengan hati-hati, dan hanya jika tidak menimbulkan risiko atau bahaya bagi kesehatan, seperti yang dijelaskan dalam kitab Fathul Mu'in sebagai berikut:

Putera As-Subki berkata: “Ucapan Al-Qadhi: "Untuk hati-hatinya hendaklah buang air besar di malam hari", maksudnya yaitu melakukannya di malam hari adalah lebih baik daripada di waktu siang, agar tiada sesuatupun yang masuk ke dalam jauf masrabahnya, bukan berarti diperintahkan agar menundanya hingga malam hari. Sebab seseorang tidak diperintah untuk melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri." (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu'in ,[Beirut, Darul Hazm], halaman 265).***

Editor: Sahril Kadir

Sumber: NU Online

Tags

Terkini

Terpopuler