Menyoal Kontributor PETI di Kabupaten Bolsel

9 Mei 2023, 19:29 WIB
Penulis: Cakra Wahyudi Ente /

MANADOKU.COM - Adakah sama pikiran kita soal pencegahan tambang ilegal dimanapun itu? Bahwa mestinya operasi ilegal tersebut tidak akan mungkin terlaksana bila para pejabat, pihak keamanan (Polri/TNI) dan para tokoh masyarakat telah menolak dan mencegahnya sejak awal. Yang berarti berjalannya praktek tersebut juga syarat akan keterlibatan mereka.

Kasus Penambangan Tanpa Izin (PETI) di kawasan hulu Tobayagan adalah aktivitas yang bukan hanya merugikan masyarakat di sana, tapi juga bisa menjadi titik balik untuk menerawang siapa saja yang ikut berjasa, berkontribusi pada masuknya aktivitas tersebut di Bolsel.

Sejak 2021, banyak media yang menyorot dalang jalannya aktivitas ilegal ini di Bolsel. Masyarakat kita telah diterangi dengan sejumlah nama investor atau korporasi yang diberitakan. Sayanganya, hal yang diduga dapat mempermudah penindakan hukum ini justru tidak terjadi. Nampaknya aktivitas itu masih terus berjalan hingga sekarang di tahun 2023.

Harusnya para terduga tersebut malu, jerah, dan jalannya penindakan hukum menjadi lebih mudah karena mereka mudah dikenali publik. Tapi, fenomena ini sangat sulit berakhir dengan prediksi sederhana tersebut. Sebab menurut penulis, ada kemungkinan praktek usaha ini tidak dijalankan sepihak oleh para investor saja; yang bisa jadi politisi/pejabat dan penegak hukum kita ikut menyangga dan menjadi penyintas.

DUGAAN PETI PERNAH JADI SPONSOR POLITIK

“Politik Ijon” mungkin masih jadi istilah yang asing dikalangan masyarakat akar rumput dan menengah seperti kita.

Padahal, keberlangsungan politik ini juga menentukan nasib seluruh masyarakat. Sedangkan diposisi para elit istilah ini bukan hanya akrab dikenal namun juga diterapkan oleh mereka. 

Politik ini merupakan suatu “hubungan menguntungkan” antara pemodal atau pebisnis dengan seorang atau kelompok politik. Dalam kasus ijon politik tambang, usaha atau target pemodal adalah perizinan lahan selama beroperasi, sedangkan politisi dengan target kekuasaannya.

Prektek ini sering terjadi pada masa penyelenggaraan pemilu. Sebab di pemilu ada banyak sekali perputaran uang yang berasal dari kompetisi perebutan kursi terbatas oleh para calon legislatif, calon kepala daerah, bahkan presiden. 

Bagi para kontestan politik, cost politic atau biaya yang perlu dikeluarkan selama pemilu berlangsung menjadi penentu gerakan.

Biasanya operasional itu banyak diserap oleh acara kampanye dan honor untuk sejumlah saksi calon di tempat pemungutan suara.

Ratusan juta bukan jaminan, tidak heran bila seorang politisi diharapkan modal besar pada setiap pencalonan.

Meskipun di satu sisi, praktik ini berpotensi menghambat para calon berkualitas tidak diusung oleh sebuah partai karena keterbatasan uang.

Pada momen inilah seorang investor atau korporasi tambang, rawan masuk memberikan dukungan dengan mendanai aktivitas dan kepentingan para calon.

Bila terjadi, hal tersebut akan menjadi cikal-bakal dari fenomena yang disebut ijon politik tambang.

Ijon politik ini juga bisa diartikan sebagai “hutang politik” para calon kepada pemodal yang harus dibayar ketika terpilih.

Adanya hal tersebut mengakibatkan lahirnya benturan kepentingan dalam menentukan kebijakan.

Dimana setiap kandidat yang menang dalam kontestasi bertanggung jawab mendahulukan kepentingan para pemodal dibanding rakyat.

Penjelasan di atas membantu penulis menerawang aktivitas PETI sepanjang 2019-2023 di Hulu Tobayagan. Paska pemilihan legislatif (2019) dan pemilihan kepala daerah (2020) operasi PETI tetap mulus berjalan.

Kenapa kita perlu mencurigai mereka (politisi)? Ada beberapa penjelasan. Pertama, belum ada kunjungan anggota legislatif ataupun pemda ke lokasi PETI, padahal sudah masuk tahun ke empat aktivitas itu berlangsung.

Ini harusnya hal gampang; tinggal datang dan mengecek kerugian yang dihasilkan oleh mereka (korporasi).

Kedua, mangkirnya pihak investor pada undangan hearing bersama DPRD Bolsel sering terulang, tanda dewan kita tidak berani beri peringatan serius.

Peran wakil rakyat harus terintegrasi dengan semangat rakyatnya, kalau sekelas dewannya saja tidak tegas, siapa lagi yang bisa kita harapkan sebagai penyambung rakyat?
Ketiga, pemerintah kita juga sama tidak meleknya dengan dewan.

Mereka gagal menghalau korporasi ini masuk dan beroperasi hingga saat ini. Alasan-alasan ini dapat menerangkan ke kita bahwa, DPR dan Pemerintah kita sengaja membuat celah untuk konsensi aktivitas tambang ilegal ini terus berjalan.

Jika benar diantara mereka ada yang pernah “masuk angin” atau menerima sumbangan dana pada Pileg dan Pilkada sebelumnya, maka kemungkinan di 2024 ini juga pasti ada.

Sebab, bagi mereka yang kekayaanya tak sebanding dengan biaya kontestasi, tetap akan membutuhkan sponsor. Investor juga butuh jaminan politik.

Bila mereka berhasil bersanding, maka PETI kemungkinan akan terus beroperasi tanpa tau kapan dan siapa yang akan menindak tegas.

Kita tidak perlu heran bila fenomena ijon politik tambang tersebut benar terjadi di Bolsel. Ini hal lumrah yang dilakukan oleh oligarki dan pejabat politik, yang saya sebut sebagai lingkaran setan.

BISA JADI ADA BEKINGAN POLISI

Ya, bisa jadi ada bekingan. Ini juga hal lumrah. Banyak kasus polisi yang juga ikut main operasi ini di Indonesia. Aktivitas ilegal di Bolsel bisa jadi salah satu contohnya. Kenapa?

Ya, karena sejauh ini anggota kepolisian kita nampak belum mengambil langkah lebih jauh menghentikan operasi.

Padahal, sudah ada intruksi dari Kapolri bahkan Kapolda Sulut untuk usut aktivitas ini. Ini praduga, tapi juga perlu dipantau.

Memang, selain jaminan politik, aktvitas lancung ini juga butuh jaminan pengamanan. Peran kepolisian dalam operasi pengamanan tambang ini adalah modus lama.

Sama seperti kasus Ismail Bolong (eks anggota Polres Samarinda/tersangka izin tambang di Kalimantan Timur) yang terlibat pada konsensi izin tambang batu bara di Kaltim, dan mengaku telah menyetor uang pada perwira tinggi Polri selama mengatur aktivitas PETI tersebut.

Yang perlu dituntut pada aparat kita adalah keberpihakan pada rakyat, bukan pada perusahaan. Kalau benar pihak pengamanan ini tidak main, mungkin alat-alat berat yang masuk ke lokasi tidak mudah sampai, sebab mudah dihalau warga.

Itu pertama. Berikut, para cukong mungkin tidak akan punya keberanian lebih beroperasi, karena mereka tahu bahwa akan ada pihak yang akan menindaki atau menghentikan mereka sesuai hukum yang berlaku.

Undang-undang, intruksi, lokasi dan para terduka sudah jelas dalam kasus ilegal meaning ini Bolsel.

Langkah berikut harusnya tinggal menghentikan. Apakah bukti terus berjalannya aktivitas PETI di Bolsel, disebabkan para penegak hukum kita tidak bisa menegakkan hukum itu sendiri? Tentu ini keliru!

Dugaan penulis terhadap para penegak hukum kita bisa saja salah. Tapi, mengkritik dan meminta tanggungjawab lebih dari mereka tetap menjadi suatu keharusan.

Sisanya, yang juga ikut memberi kontribusi dalam aktivitas ilegal ini adalah tokoh-tokoh masyarakat setempat. Kasus-kasus horizontal yang melibatkan sesama warga di sana adalah bukti adanya keterlibatan masyarakat biasa sebagai pekerja kasar atau juga “pengamanan”.

Tapi keterlibatan warga juga tidak terlalu terpengaruh. Mereka tidak kebal hukum seperti penguasa dan oligarki. Di lain sisi, masyarakat justru sering dijadikan alasan keberadaan PETI. Bahwa terus berjalannya altivitas ilegal tersebut adalah upaya membuka lapangan pekerjaan bagi mereka.
Tapi tetap saja, PETI itu ilegal. PETI merugikan rakyat. PETI tidak membayar pajak!***

Penulis adalah Cakra Wahyudi Ente Sekretaris Umum PB KPMIBMS

Editor: Nazrul Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler