Sekilas tentang Aksara Lontara Sulawesi Selatan, Sejarah hingga Cara Bacanya

8 Februari 2023, 12:49 WIB
Bentuk aksara lontarak Sulawesi Selatan /Dok. Balai Bahasa Kemdikbud Sulsel/

MANADOKU, Pikiran Rakyat - Sulawesi Selatan memiliki tradisi literasi yang ditandai dengan keberadaan aksara lontara sejak masa lampau.

Pada masa lalu, aksara lontara bahkan menjadi media untuk mencatat segala aktivitas dan kegiatan masyarakat, termasuk terkait kehidupan politik.

Sampai saat ini pun, aksara tersebut masih jadi perhatian sehingga tetap dijadikan bahan ajar bagi anak-anak dan remaja.

Yang menarik, aksara lontara memiliki sejarah, arti hingga cara baca yang cukup unik. Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih dalam tentangnya, baca terus tulisan ini.

Baca Juga: 9 Fakta dan Keunikan Danau Tanralili, Destinasi Alam Poluler di Kabupaten Gowa

Staf Pengajar Departemen Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin dan penggiat Selarung Institute, Ilham Daeng Makkelo menjelaskan bahwa lontara berasal dari kata “lontar”, yang merupakan sejenis pohon di Sulawesi Selatan.

Dalam catatan Daeng Makkelo disebutkan bahwa aksara ini muncul dari inspirasi “sulapa eppa wala suji”, semacam pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat.

Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan kuno masyarakat yang menyimbolkan unsur pembentukan manusia, yaitu api, air, angin, dan tanah. Ada pula yang mengartikan sebagai empat arah mata angin.

Selain itu, naskah dengan aksara lontara ditulis menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar pada selembar daun lontar yang panjang dan tipis yang digulung pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman.

Isi naskah berbicara tentang tata aturan pemerintahan dan kehidupan masyarakat, dalam bentuk dokumen, peta, hukum perdagangan, surat perjanjian, hingga buku harian.

Artikel Ilham Daeng Makkelo yang berjudul 'Sejarah Makassar dan Tradisi Literasi' juga mencatat, hampir di setiap kerajaan di Sulawesi Selatan terdapat penulis istana yang bertugas mencatat segala urusan administrasi, dan aktivitas masyarakat dalam kerajaan tersebut, seperti perjanjian politik, pernyataan perang, surat perdamaian, wilayah kerajaan, kekayaan negara, aktivitas perdagangan, ritual keagamaan, upacara kenegaraan, silsilah, dan catatan harian raja.

Pada masa kolonial Belanda, tradisi penulisan aktivitas politik dan masyarakat tetap dicatat, baik pada kerajaan-kerjaan utama, maupun oleh kerajaan-kerajaan kecil (kerajaan bawahan), yang dikenal sebagai Lontarak Akkarungeng.

Namun, secara perlahan penggunaan aksara ini tergerus dengan penggunaan bahasa latin yang digunakan secara luas. Apalagi, sejak awal abad ke-20, kolonial Belanda membuka sekolah pemerintah, maupun sekolah swasta.

Meski demikian, lontara telah berhasil mendokumentasikan sejarah dan nilai budaya masyarakat Sulawesi Selatan, salah satunya adalah karya agung yang yang disebut naskah La Galigo.

Naskah ini berisi tentang epic mitos penciptaan dari peradaban Sulawesi Selatan, yang ditulis antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi berbahasa Bugis kuno dan almanak sehari-hari, terutama kebudayaan di Sulawesi Selatan sebelum abad ke-14.

Dikutip dari laman resmi Balai Bahasa Kemdikbud Sulsel, lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar, yang menggunakan sistem tulisan abugida, dan terdiri dari 23 aksara dasar.

Aksara lontara tak memiliki tanda baca virama (pemati Vokal), sehingga aksara konsonan mati tidak dituliskan dan terdiri dari 23 huruf untuk lontara Bugis dan 19 huruf untuk lontara Makassar.

Ada empat aksara yang merepresentasikan suku kata pra-nasal, yaitu ngka, mpa, nra, dan nca, namun tidak pernah digunakan dalam materi berbahasa Makassar dan merupakan salah satu ciri khas tulisan Bugis.

Namun, dalam praktik penulisan tradisional Bugis-pun, keempat aksara ini seringkali tidak dipakai dengan konsisten, bahkan oleh juru tulis profesional.

Itulah sekilas tentang aksara lontarak, mulai dari sejarah, arti dan cara baca yang layak Anda ketahui.***

Editor: Sahril Kadir

Tags

Terkini

Terpopuler