Perjalanan Politik Alexei Navalny, Tokoh Oposisi Rusia yang Trending Google di Indonesia

17 Februari 2024, 17:48 WIB
Alexei Navalny. /Reuters

MANADOKU.COM - Nama pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny menjadi trending Google di Indonesia setelah dikabarkan meninggal dunia di penjara Arktik Utara, pada Jumat 16 Februari 2024.

Hal itu wajar mengingat dia merupakan tokoh utama penentang kepemimpinan Presiden Rusia Vladimir Putin sejak lebih dari satu dekade lalu.

Apalagi beredar kabar yang dihembuskan oleh para pendukungnya bahwa kematiannya bukan semata karena kehilangan kesadaran, melainkan justru dibunuh.

Dalam artikel ini, MANADOKU.COM akan mengulas secara sederhana sosok Alexei Navalny yang terkenal tidak hanya di Rusia, tapi juga di dunia.

Baca Juga: Tentang Polemik Sirekap, Begini Tanggapan Dosen Fisip Unsrat Manado

Profil singkat

Dikutip dari Biography.com, Alexei Navalny yang memiliki nama lengkap Alexei Anatolievich Navalny, lahir dari orang tua Anatoly Ivanovich dan Lyudmila Ivanovna pada tanggal 4 Juni 1976, di Butyn, Rusia.

Dia merupakan putra dari seorang perwira komunikasi militer, sehingga besar di berbagai kota militer di sekitar Moskow dan menghabiskan musim panas bersama neneknya di pedesaan dekat Chernobyl, Ukraina.

Navalny menyelesaikan studinya dan meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Persahabatan Rakyat Rusia pada tahun 1998. Setelah itu, dia memperoleh gelar master dari Akademi Keuangan Negara pada tahun 2001.

Pada tahun 2010, dia menghabiskan satu semester belajar di Universitas Yale sebagai bagian dari program World Fellows.

Perjalanan politik Alexei Navalny

Dia mengawali karir sebagai pengacara pada akhir 1990-an. Pada saat bersamaan, dia bergabung dengan Yabloko, Partai Persatuan Demokratik Rusia.

Navalny lalu menjadi wakil ketua partai tersebut di Moskow, namun berselisih paham dengan para pemimpin partai karena pandangan nasionalisnya.

Selanjutnya, karena berselisih paham, dia lalu dikeluarkan dari partai tersebut pada tahun 2007.

Navalny menjadi terkenal pada akhir tahun 2000-an dengan menjadi pemegang saham minoritas di perusahaan-perusahaan besar Rusia.

Saat itu, dia banyak mengajukan pertanyaan tentang keuangan mereka dan mendokumentasikan temuannya tentang dugaan malpraktek dan korupsi melalui blog miliknya.

Navalny kemudian meluncurkan Gerakan Pembebasan Nasional Rusia, yang memiliki sikap lebih keras terhadap masalah imigrasi.

Dia menyerukan agar warga Georgia dideportasi selama Perang Rusia-Georgia tahun 2008 dan membuat video pro-hak senjata yang menunjukkan dia menembak seorang penyerang yang mengenakan keffiyeh tradisional Timur Tengah.

Dikutip dari BBC.COM, Navalny menjabat sebagai penasihat Nikita Belykh, gubernur Oblast Kirov Rusia pada tahun 2009.

Pada tahun 2011, dia membentuk Yayasan Anti-Korupsi dan menjadi pemimpin utama aksi protes setelah partai Rusia Bersatu pimpinan Putin memenangkan pemilu.

Akibat dari aksi protes tersebut, Navalny ditangkap dan dipenjara selama 15 hari pada bulan Desember tahun itu juga.

Pada tahun 2013, dia kembali dipenjara setelah dituduh melakukan penipuan. Namun secara tiba-tiba, dia dibebaskan untuk berkampanye pada pemilihan wali kota Moskow tahun 2013.

Dalam pemilihan wali kota Moskow kali itu, dia menjadi runner-up di belakang sekutu Putin. Setelah itu, dia terus melakukan aksi protes nasional dan berkali-kali ditahan oleh polisi.

Selanjutnya, Navalny mencoba mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 2018, tetapi tidak mendapatkan izin bahkan dilarang karena tuduhan penipuannya.

Pada Agustus 2020, Navalny pingsan dalam penerbangan di atas Siberia dan dilarikan ke rumah sakit di Omsk.

Hasil tes menunjukkan bahwa dia diracuni oleh Novichok, agen saraf yang biasa digunakan di era Soviet. Pada sisi lain, Kremlin membantah bertanggung jawab atas serangan itu.

Kondisi tersebut membuatnya dirawat di Berlin, dan terbang kembali ke Rusia pada Januari 2021 bersama istrinya.

Setibanya di Moskow, dia kembali ditahan karena melanggar ketentuan hukuman percobaan saat memulihkan diri di Jerman, dan dikirim ke penjara pada Februari 2021.

Hukuman dua setengah tahun yang diberikan kepadanya ditingkatkan menjadi sembilan tahun pada tahun 2023, karena dinyatakan bersalah atas tuduhan baru penggelapan dan penghinaan terhadap pengadilan.

Tak hanya itu, dia juga diberi tambahan waktu 19 tahun di fasilitas “rezim khusus” atas tuduhan ekstremisme.

Setelah tak terlihat selama dua minggu, dia muncul kembali di koloni hukuman di Arktik Utara pada akhir tahun 2023.

Para pejabat mengatakan pria berusia 47 tahun itu meninggal di sana pada 16 Februari setelah merasa tidak sehat dan tidak sadarkan diri.***

Editor: Sahril Kadir

Tags

Terkini

Terpopuler