Mengapa Banjir Kota Jakarta selalu terjadi?

- 6 Maret 2024, 06:30 WIB
Penulis: Agus Santoso Budiharso
Penulis: Agus Santoso Budiharso /Istimewa/

Oleh Agus Santoso Budiharso

BANJIR di Kota Jakarta telah menjadi permasalahan yang berkepanjangan dan kompleks dan terus menghantui ibukota ini. Beberapa faktor utama yang menyebabkan banjir melibatkan masalah land subsidence, drainase yang kurang memadai, tata ruang yang melebihi kemampuan lahan, penggundulan lahan di hulu, ketidakcukupan sumur resapan, dan kurangnya perhatian pada ruang terbuka hijau dalam pembangunan perumahan.

Land subsidence atau penurunan tanah menjadi salah satu akar masalah utama banjir di Jakarta. Eksploitasi air tanah yang berlebihan untuk kebutuhan industri dan domestik menyebabkan penurunan permukaan tanah, membuat wilayah Jakarta semakin rentan terhadap genangan air saat terjadi hujan deras.

Fenomena landsubsidence ini terjadi di berbagai wilayah di Jakarta, termasuk daerah pesisir seperti Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Land subsidence terjadi akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan. Pertumbuhan populasi dan industrialisasi di Jakarta menyebabkan permintaan air tanah semakin meningkat.

Tanah yang semula padat kemudian mengalami penurunan karena air tanah yang dieksploitasi tidak dapat dengan cepat tergantikan. Ini menciptakan ketidakseimbangan yang signifikan, menyebabkan penurunan permukaan tanah yang pada gilirannya meningkatkan risiko banjir di kawasan tersebut.

Baca Juga: 784 Pelanggaran Terjaring di Hari Pertama Operasi Keselamatan Samrat, Dua Pelanggaran Ini Paling Mendominasi

Salah satu daerah yang paling parah terkena dampak land subsidence adalah Jakarta Utara, khususnya di sekitar Teluk Jakarta. Daerah-daerah pesisir ini, yang secara historis berperan sebagai kawasan penahan air dan banjir, sekarang menjadi lebih rentan karena perubahan dalam morfologi tanah akibat penurunan tanah.

Jakarta Barat, terutama daerah yang berdekatan dengan pesisir, juga mengalami masalah serupa. Meskipun fenomena ini tidak terbatas pada daerah tertentu, konsentrasi pembangunan dan kepadatan penduduk di sekitar pesisir membuat kerentanan terhadap banjir lebih tinggi.

Land subsidence disebabkan oleh eksploitasi air tanah yang berlebihan untuk kebutuhan industri, domestik, dan pertanian. Praktek ini telah lama menjadi solusi sementara untuk pemenuhan kebutuhan air, namun, tanpa pengelolaan yang berkelanjutan, dampaknya semakin nyata.

Ketidakseimbangan antara eksploitasi air tanah dan penyediaan air hujan yang kurang memadai membuat tanah semakin turun, menciptakan celah di antara struktur tanah yang dapat diisi oleh air permukaan, meningkatkan risiko banjir.

Upaya pencegahan dan rehabilitasi menjadi semakin mendesak. Pemerintah dan masyarakat perlu bersama-sama mengadopsi pendekatan yang berkelanjutan dalam manajemen air dan penggunaan lahan untuk mengatasi akar masalah land subsidence.

Sistem manajemen air yang efisien, pengurangan eksploitasi air tanah, serta perlindungan dan pelestarian ruang terbuka hijau di daerah pesisir dapat membantu mengurangi risiko land subsidence dan meminimalkan dampaknya terhadap banjir di Kota Jakarta.

Selain itu, Sistem drainase yang tidak memadai menjadi katalisator utama bagi banjir di Kota Jakarta. Pertumbuhan urban yang pesat selama beberapa dekade terakhir menyebabkan infrastruktur drainase tidak mampu menanggapi peningkatan volume air yang tinggi akibat curah hujan ekstrem. Data menunjukkan bahwa sekitar 40% dari wilayah Jakarta terkena dampak langsung dari masalah drainase yang tidak memadai.

Daerah-daerah yang terdampak oleh sistem drainase yang buruk terutama terletak di sepanjang sungai dan kanal utama yang melintasi kota. Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur adalah wilayah-wilayah yang paling rentan terhadap banjir akibat kurangnya daya tampung sistem drainase.

Menurut data terbaru, lebih dari 60% saluran air di Jakarta mengalami penyumbatan oleh sampah, lumpur, dan tanah subur dari hulu. Kondisi ini membuat aliran air menjadi terhambat dan meningkatkan risiko terjadinya genangan air.

Sampah plastik adalah penyumbang utama penyumbatan sistem drainase di Jakarta. Berdasarkan penelitian, sekitar 30% dari total sampah di Jakarta adalah sampah plastik, dan sebagian besar akhirnya berakhir di saluran air.

Pengelolaan sampah yang kurang efektif serta kurangnya kesadaran masyarakat tentang dampak sampah plastik pada drainase kota menjadi faktor penentu terjadinya masalah ini.

Selain itu, tanah subur yang terbawa dari hulu sungai juga memperburuk kondisi drainase. Pertanian di daerah hulu yang cenderung memanfaatkan lahan secara intensif dapat menyebabkan tanah subur terbawa hujan menuju Jakarta.

Tanah subur ini dapat menyebabkan pendangkalan di sungai dan saluran air, mengurangi kapasitas mereka untuk mengalirkan air dengan baik.

Perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan dan pencegahan yang komprehensif untuk mengatasi masalah ini. Ini mencakup investasi dalam perbaikan infrastruktur drainase, peningkatan sistem manajemen sampah, serta edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga sistem drainase yang bersih dan berfungsi dengan baik. Dengan demikian, Jakarta dapat meminimalkan risiko banjir dan membangun kota yang lebih tahan terhadap cuaca ekstrem.

Pembangunan kota yang tidak terencana secara efektif, terutama melibatkan pemadatan tanah dan perubahan tata guna lahan, telah menjadi faktor utama dalam penurunan kemampuan lahan dalam menyerap air hujan di berbagai wilayah.

Fenomena ini dapat dicontohkan melalui pemberian izin pembangunan perumahan di daerah-daerah yang seharusnya menjadi recharge area, yakni daerah pengisian air tanah.

Recharge area merupakan wilayah yang berperan penting dalam menyuplai air tanah, namun, seringkali terabaikan dalam proses pembangunan kota.

Pertama-tama, daerah recharge sering kali didefinisikan sebagai lahan terbuka dengan tanah yang dapat menyerap air dengan baik. Namun, sering kali, pembangunan perumahan lebih cenderung diprioritaskan di atas lahan-lahan ini karena kebutuhan perumahan yang terus meningkat.

Dalam proses ini, alih fungsi lahan dari recharge area menjadi area terbangun menyebabkan tanah yang seharusnya dapat menyerap air hujan menjadi tertutup oleh bangunan dan material keras.

Ketidakseimbangan antara area terbangun dan lahan terbuka turut memperburuk situasi ini. Perubahan tata guna lahan yang tidak tepat dan pemadatan tanah dapat mengurangi permeabilitas tanah, sehingga air hujan tidak dapat meresap dengan efisien.

Selain itu, dengan peningkatan jumlah permukaan keras seperti aspal dan beton, air hujan cenderung mengalir permukaan, meningkatkan risiko genangan dan banjir.

Akibat dari perubahan tata guna lahan ini, lahan yang seharusnya berfungsi sebagai area penyerapan air dan penyuplai air tanah menjadi semakin tidak mampu melaksanakan fungsinya.

Penurunan kemampuan lahan untuk menyerap air hujan ini menciptakan ketidakseimbangan ekologis yang dapat merugikan lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya perencanaan tata kota yang lebih bijaksana, mempertimbangkan pentingnya memelihara daerah recharge sebagai elemen integral dalam infrastruktur kota.

Langkah-langkah kebijakan yang mendukung pelestarian dan rehabilitasi daerah-daerah recharge, termasuk dalam pengembangan perumahan, akan membantu menciptakan kota yang berkelanjutan dan tahan terhadap dampak perubahan iklim.

Faktor lain yang sering dilalaikan adalah ketidakadanya sumur resapan di daerah perkotaan yang sangat padat penduduk, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta ini, menjadi salah satu pemicu utama perburukan situasi banjir.

Perkotaan yang padat penduduk sering kali menghadapi tekanan besar terhadap lahan terbuka, dan seringkali, ruang untuk sumur resapan menjadi terbatas.

Jakarta, sebagai contoh, mengalami masalah serius dengan banjir yang terjadi secara berulang-ulang, terutama di daerah-daerah yang padat penduduk seperti Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur.

Daerah-daerah yang padat penduduk di Jakarta sering kali ditandai oleh lahan yang digunakan untuk perkantoran, perumahan padat, dan fasilitas publik.

Peningkatan kepadatan penduduk dan pembangunan yang intensif membuat tersedianya lahan terbuka menjadi semakin terbatas.

Hal ini menyebabkan sulitnya meembangun sumur resapan yang memadai, karena lahan terbatas diubah menjadi bangunan dan infrastruktur perkotaan.

Sebagai contoh, Jakarta Pusat, yang menjadi pusat pemerintahan dan bisnis, mengalami tekanan besar terhadap lahan terbuka.

Kawasan ini cenderung memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan sekaligus menjadi pusat kegiatan ekonomi.

Keterbatasan lahan terbuka di daerah ini membuat sulitnya pemasangan sumur resapan yang optimal.

Permasalahan ini semakin diperparah oleh rendahnya kesadaran akan pentingnya sumur resapan di masyarakat perkotaan.

Beberapa wilayah yang padat penduduk di Jakarta mungkin memiliki sumur resapan yang tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali.

Ini menjadi faktor tambahan dalam meningkatkan volume air permukaan, yang pada gilirannya memperburuk risiko banjir di kawasan tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan langkah-langkah yang komprehensif. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya sumur resapan, bersama dengan kebijakan yang mendukung pemasangan sumur resapan di setiap properti, dapat membantu mengurangi risiko banjir.

Selain itu, perlu juga ada regulasi dan tindakan pemerintah yang mendukung pelestarian lahan terbuka, sehingga sumur resapan dapat diintegrasikan secara efektif dalam struktur kota yang terus berkembang.

Untuk mengatasi masalah banjir di perkotaan di Jakarta dan kota-kota lainnya, diperlukan pendekatan komprehensif. Pemerintah perlu memprioritaskan perbaikan infrastruktur drainase dan investasi dalam pembangunan sumur resapan yang efektif.

Dalam rangka mempertahankan lahan terbuka, diperlukan pembangunan berbasis ekosistem, termasuk penanaman pohon dan pemeliharaan ruang terbuka hijau.

Peningkatan kesadaran masyarakat melalui kampanye edukasi juga menjadi kunci, dengan menekankan pentingnya pengelolaan sampah dan partisipasi dalam pembangunan berkelanjutan.

Keterlibatan aktif sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya diperlukan melalui kemitraan untuk mendukung solusi inovatif dan memberikan kontribusi pada penyusunan kebijakan dan regulasi yang tepat untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di tingkat perkotaan.

Sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan lingkungan kota yang tahan terhadap dampak banjir.

Keterangan: Penulis adalah Dosen Universitas Prisma, Kepala Pusat Kajian Bencana dan Pengembangan Sumberdaya Alam Uprisma, Sekretaris Dewan Pakar Kagegama Pusat.***

Editor: Sahril Kadir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

x