Sekelumit Tentang Islam Tua yang Hanya Ada di Sangihe, Sulawesi Utara

- 7 Maret 2023, 12:04 WIB
Kepulauan Sangihe juga terkenal dengan kepercayaan Islam Tua
Kepulauan Sangihe juga terkenal dengan kepercayaan Islam Tua /Tangkap layar/Instagram @katafath

MANADO, Pikiran Rakyat - Anda yang berada di luar Sulawesi Utara mungkin tak pernah atau hanya sekilas pernah mendengar Islam Tua.

Islam Tua merupakan salah satu istilah yang disematkan kepada sebuah agama lokal yang berada di Sangihe, Sulawesi Utara.

Yang menarik, Kementerian Agama melalui sebuah keputusan pada tahun 1978 telah memutuskan Islam Tua sebagai aliran kepercayaan, sehingga berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Baca Juga: Legenda Gunung Manado Tua yang Kini Jadi Destinasi Wisata Baru Sulawesi Utara

Dari situ, aliran kepercayaan ini berganti nama menjadi Penghayat Kepercayaan Masade, bukan lagi Islam Tua. Meski demikian, nama awalnya itu tetap saja terdengar sampai saat ini.

Sejarah Islam Tua atau Masade

Sejarah Islam Tua atau Masade secara tertulis tak pernah ditemukan. Yang ada hanya bersifat tradisi lisan yang belum bisa dipercaya kebenarannya.

Bahkan, Don Javirius Walandungo dalam bukunya "Islam Tua: Terpasung Dan Merana" yang terbit tahun 2002 lalu mengungkapkan bahwa tak ada satu pun Misionaris Barat pada abad XVI – XVII yang menemukan istilah Islam Tua maupun Masade. Yang ada hanya Islam.

Adapun Muh. Nur Ichsan Aziz dalam "Sejarah Islam Di Perbatasan Islam Massade Di Kepulauan Sangir" menulis bahwa kehadiran Islam Tua atau Masade tidak lepas dari proses sejarah Islamisasi di daerah Sangihe.

Salah satu sejarah konkrit bahwa Islam adalah agama yang pertama masuk dalam kehidupan masyarakat Sangihe dengan bukti peninggalan kerajaan Kendahar di kepulauan Sangihe, yang rajanya adalah Syah Alam telah memeluk agama Islam.

Adapun menurut tradisi lisan masyarakat penganut ajaran ini, Islam Tua berawal dari ditemukannya seorang bayi laki-laki di tengah hutan oleh pasangan suami-istri yang hendak pergi ke kebun.

Mereka memberi nama bayi laki-laki itu dengan nama Mawu Masade. Saat berusia 16 tahun, Mawu Masade berpamitan dengan kedua orang tuanya untuk pergi ke Tugis, salah satu daerah yang berada di Kecamatan Kiamba, Provinsi Saranggani, dengan seorang teman bernama Valentijn.

Setelah belajar tentang ajaran Islam Tua, pada usia 66 tahun Masade pulang kembali ke pulau Sangihe dan ditemuinya sahabat karibnya pendeta Valentjin yang ternyata telah ditangkap oleh rakyat Ternate.

Setelah mengetahui hal itu, Masade pun menyumpahi tanah Ternate dengan mengatakan bahwa setelah sembilan hari tanah Ternate akan dimurkai Tuhan.

Setelah mengatakan hal itu Masade kembali ke pulau Sangihe, tepatnya ke desa kelahirannya, lalu berpamitan dengan kedua orang tuanya, karena memilih kembali ke Tugis untuk mendalami Ilmu sambil mengajarkannya kepada muridnya, Pananging. 

Saat menjelang kematiannya, Masade pun telah menyerahkan tongkat penyebaran Islam Tua kepada Pananging.

Penganut Islam Tua sangat menghormati Mawu Masade karena hal-hal yang dilakukan dalam kehidupannya dianggap sebagai sebuah kitab hidup yang dapat dicontoh.

Bagi masyarakat Islam Masade, sosok seorang Imam merepresentasikan ajaran mereka, bahkan sosok Imam sendiri disimbolkan sebagai “kitab suci yang berjalan”.

Terlepas dari hal di atas ajaran Islam Masade sendiri mendapat pengaruh dari daerah Filipina, dimana daerah Tugis yang menjadi pusat pembelajaran Masade merupakan pusat penyebaran Islam Syi’ah.

Ajaran dan Tradisi Islam Tua

Masyarakat penganut Islam Tua yang berada di desa Lenganeng menggunakan tradisi serta ajaran yang diturunkan oleh leluhur mereka.

Adapun ajaran dan tradisi yang dijaga oleh masyarakat Islam Tua saat ini yaitu:

– Diko’u Soro

Merupakan acara yang dilakukan tiga hari menjelang hari raya Idul Fitri atau hari Raya buka yang dibuat begitu meriah. Dalam acara ini semua masyarakat desa Lenganeng diundang untuk menghadirinya.

Aparat pemerintah Sangihe juga diundang untuk sama-sama memeriahkan acara ini, yang di dalamnya terdapat sesi perampasan makanan yang digantung pada sebuah pohon yang ujungnya berbentuk kubah, di atasnya terdapat sebuah Obor.

Mereka percaya bahwa Kubah dan Obor tersebut mengartikan awal terciptanya sebuah dunia yang ditempati ini.

Selanjutnya makanan-makanan yang digantung berupa ketupat dan hasil bumi ini menandakan bentuk rasa syukur oleh masyarakat Islam Tua terhadap rezeki yang telah diberikan oleh Tuhan.

Di dalam ornamen pohon tersebut disusun menggunakan Tebu yang melingkar, di dalamnya diikat secara horizontal dan vertikal dimana setiap tebu mempunyai ruas-ruas yang mengartikan bahwa walaupun berbeda keyakinan, bahasa, akan tetapi pada dasarnya manusia itu satu.

Ikatan secara horizontal menandakan hubungan manusia dengan manusia, sedangkan secara vertikal bagaimana hubungan dengan sang Pencipta atau Tuhan. 

– Sembahyang

Praktik Sembahyang adalah sebuah prosesi yang dilakukan oleh masyarakat Islam Tua yang biasa disebut oleh masyarakat Islam sebagai Sholat.

Praktik Sholat yang dilakukan oleh masyarakat Islam Tua ini hanya berlaku seminggu sekali, yaitu pada hari Jumat.

Sembahyang merupakan ritual wajib yang dilakukan oleh masyarakat Islam Tua di dalam rumah ibadah yang disebut tempat Pengamareng. Hal inilah yang membedakan masyarakat Islam dengan Islam Tua yang berada di desa Lenganeng.

Sembahyang ini dilayani oleh seorang Imam, di dalamnya terdapat perlengkapan ritual sembahyang berupa bara api, kemenyan dan segelas air.

Proses Sembahyang ini tidak menggunakan gerakan seperti praktik sholat oleh masyarakat Muslim, melainkan hanya melantunkan sebuah doa-doa atau Dzikir yang berbahasa Arab serta bercampur dengan bahasa masyarakat setempat.

Masyarakat Islam Tua percaya bahwa doa tidak mesti tertulis, dapat memungkinkan individu atau seseorang berinteraksi dengan sang Pencipta yang dipercaya mempunyai kuasa atas segalanya yang disebut Ghenggona Langi Duatang Saruluang.

Adapun praktiknya yaitu dengan duduk melingkar, seorang Imam berada di tengah-tengah jamaah entah yang laki-laki maupun perempuan.

Pada prosesi sembahyang ini para jamaah laki-laki menggunakan pakaian yang sama persis dengan masyakat Islam yang hendak pergi untuk sholat. Adapun yang perempuan juga menggunakan pakaian berupa mukenah atau jilbab untuk menutupi aurat.

Itulah sekelumit gambaran tentang Islam Tua yang hanya ada di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.***

Editor: Sahril Kadir


Tags

Artikel Pilihan

Terkini