Konflik Spasial di Pulau Rempang: Sebuah Tinjauan Kritis

2 Oktober 2023, 09:15 WIB
Penulis: Agus Santoso Budiharso /Istimewa/

Keterkaitan antara data geospasial yang akurat dan konflik spasial adalah sebuah permasalahan yang semakin mendalam dan penting dalam dunia modern.

Data geospasial adalah informasi yang menggambarkan lokasi, bentang alam, dan elemen-elemen geografis lainnya.

Ketersediaan data geospasial yang akurat adalah faktor kunci dalam mengelola sumber daya, mengambil keputusan, dan merencanakan pengembangan wilayah.

Namun, jika data geospasial tidak akurat atau kurang terbarukan, hal ini dapat memicu konflik spasial yang meluas.

Baca Juga: Risiko Bencana Gunung Lokon

Dalam esai ini, kita akan menjelajahi bagaimana ketidakakuratan data geospasial dapat berdampak pada eskalasi konflik spasial.

Salah satu contoh konflik spasial yang lagi trending adalah konflik yang terjadi di Pulau Rempang.

Pulau Rempang adalah salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Riau, Indonesia. Pulau ini bersama dengan Pulau Batam dan Pulau Galang membentuk wilayah yang dikenal sebagai Kota Batam, yang merupakan salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia.

Pulau Rempang memiliki sejarah, kekayaan alam, dan potensi ekonomi yang menarik, namun juga menghadapi berbagai tantangan dan konflik, khususnya terkait dengan masalah kepemilikan dan penggunaan lahan.

Salah satu akar konflik spasial di Pulau Rempang adalah adanya perbedaan klaim atas lahan antara masyarakat setempat dan pemerintah daerah.

Masyarakat setempat telah menghuni dan mengelola lahan di pulau ini sejak lama, namun tidak memiliki sertifikat hak milik.

Sementara itu, pemerintah daerah juga memiliki klaim atas lahan di pulau ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 yang menetapkan wilayah BP Batam sebagai kawasan otorita (Sumber Kompasiana.com).

Kedua belah pihak sering kali memiliki pandangan yang berbeda mengenai legalitas dan legitimasi kepemilikan lahan ini, sehingga menimbulkan konflik.

Salah satu contoh konflik spasial yang terjadi di Pulau Rempang adalah rencana pembangunan kawasan ekonomi bernama Rempang Eco City oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), sebuah perusahaan yang dikaitkan dengan pengusaha nasional Tommy Winata (https://money.kompas.com/).

Proyek ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat yang ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.

Namun, proyek ini mendapat penolakan keras dari warga Pulau Rempang, karena akan mengakibatkan relokasi seluruh penduduk pulau yang berjumlah sekitar 7.500 jiwa (https://www.kompas.com/tren/read/2023/09/13/).

Warga menilai bahwa proyek ini tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan mereka, serta merampas hak mereka atas tanah leluhur.

Konflik spasial di Pulau Rempang ini telah berlangsung sejak beberapa tahun lalu, namun puncaknya terjadi pada September 2023, ketika terjadi bentrokan antara warga dengan aparat keamanan yang hendak melakukan pengosongan lahan.

Bentrokan ini juga menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk para menteri dan aktivis hak asasi manusia, yang meminta agar konflik ini diselesaikan secara damai dan adil.

Konflik spasial di Pulau Rempang ini merupakan salah satu contoh dari fenomena konflik spasial yang sering terjadi di Indonesia.

Konflik spasial adalah konflik yang berkaitan dengan ruang atau wilayah, baik fisik maupun simbolik, yang melibatkan berbagai aktor dengan kepentingan dan identitas yang berbeda.

Konflik spasial dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti pertentangan antara tradisi dan modernitas, antara lokal dan global, antara ekonomi dan ekologi, antara hak kolektif dan individu, antara negara dan masyarakat.

Konflik spasial di Indonesia sering kali bersifat kompleks dan multidimensi, karena melibatkan aspek hukum, politik, sosial, budaya, agama, dan sejarah.

Konflik spasial juga sering kali bersifat dinamis dan berkelanjutan, karena dipengaruhi oleh perubahan konteks dan kondisi.

Konflik spasial dapat berdampak negatif bagi kesejahteraan dan keadilan sosial, karena dapat menimbulkan kerugian materiil, korban jiwa, trauma psikologis, diskriminasi, marginalisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Untuk itu, konflik spasial di Indonesia memerlukan penanganan yang komprehensif dan partisipatif, yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan dalam proses dialog dan negosiasi.

Penanganan konflik spasial juga harus berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, keadilan, dan keberlanjutan.

Dengan demikian, konflik spasial dapat diatasi secara damai dan konstruktif, serta dapat menjadi peluang untuk menciptakan ruang-ruang baru yang inklusif dan harmonis.

Untuk memitigasi konflik spasial, perlu diambil berbagai tindakan yang dapat meminimalkan potensi konflik dan menciptakan penyelesaian yang adil. Berikut ini penulis menawarkan beberapa solusi yang dapat digunakan:

1. Pemantauan dan Pengelolaan Data Geospasial yang Akurat

Pemerintah dan badan terkait harus memastikan bahwa data geospasial dikelola dengan baik dan akurat. Ini termasuk pemantauan secara terus-menerus terhadap perubahan batas wilayah, pembaruan data, dan pemutakhiran informasi geografis.

2. Penentuan Batas yang Jelas

Penentuan batas wilayah harus dilakukan dengan cermat dan akurat. Hal ini dapat melibatkan survei lapangan, pemetaan yang terpercaya, dan konsultasi dengan semua pihak yang berkepentingan. Penentuan batas yang jelas dapat menghindari perselisihan di masa depan.

3. Regulasi yang Kuat dan Penegakan Hukum

Pemerintah perlu memiliki regulasi yang kuat yang mengatur penggunaan lahan, hak kepemilikan tanah, dan pemanfaatan sumber daya alam. Penegakan hukum yang ketat penting untuk mencegah pelanggaran dan sengketa.

4. Mediasi dan Penyelesaian Sengketa

Fasilitasi mediasi dan penyelesaian sengketa adalah langkah yang efektif dalam mengatasi konflik spatial.

Pihak ketiga yang netral dapat membantu berbagai pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan yang adil.

5. Partisipasi Masyarakat

Penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan mengenai penggunaan lahan dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka.

Partisipasi ini dapat mengurangi potensi konflik dan menciptakan solusi yang lebih berkelanjutan.

6. Pendidikan dan Kesadaran

Pendidikan dan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak tanah, hak lingkungan, dan hukum yang berlaku penting untuk mencegah konflik. Ini juga membantu masyarakat dalam memahami pentingnya data geospasial yang akurat.

7. Transparansi dan Akses Terbuka ke Data

Membuka data geospasial secara terbuka kepada masyarakat umum dapat membantu menciptakan transparansi dan akuntabilitas.

Ini juga memungkinkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk memeriksa dan memverifikasi informasi.

8. Kerjasama Antar Pihak

Kerjasama antar pihak, baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional, sangat penting dalam mengatasi konflik spasial yang melibatkan berbagai pihak.

Negosiasi damai dan berkelanjutan adalah kunci dalam menyelesaikan sengketa wilayah.

9. Hukum Adat dan Kebudayaan

Menghormati dan mengakui hukum adat serta nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan penggunaan lahan dan wilayah dapat membantu menghindari konflik dengan komunitas lokal.

10. Pembangunan Berkelanjutan

Pemerintah dan pihak-pihak terkait harus memprioritaskan pembangunan berkelanjutan yang memperhitungkan aspek lingkungan dan sosial, sehingga konflik terkait dengan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam dapat diminimalkan.

Kesimpulannya adalah:

Menggabungkan pendekatan ini dan mempromosikan dialog antara semua pihak yang berkepentingan adalah kunci dalam memitigasi konflik spasial dan menciptakan lingkungan yang lebih stabil dan adil.

Langkah-langkah ini harus disesuaikan dengan kondisi dan konteks lokal, regional, dan nasional untuk mencapai hasil yang optimal.

Semua pendekatan ini akan memerlukan ketersediaan Data Geospasial yang valid, akurat dan uptodate.

Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, ketersediaan data geospasial yang akurat menjadi sangat penting.

Kehilangan atau kurangnya akurasi dalam data ini dapat membahayakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik.

Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk memastikan bahwa data geospasial dikelola dengan baik, diperbarui secara berkala, dan tersedia untuk semua pihak yang berkepentingan.

Hal ini akan membantu mengurangi potensi konflik spasial yang dapat merugikan masyarakat dan lingkungan.

Penulis adalah Pendiri Yayasan Pengkajian dan Advokasi Geospasial (YPAG) dan Sekretaris Dewan Pakar Kagegama (Keluarga Alumni Geografi Gadjah Mada).***

Editor: Sahril Kadir

Tags

Terkini

Terpopuler