Belum Jadi Agama yang Dilindungi Negara, Penganut Baha'i Tetap Hidup Rukun di Tondano Sulawesi Utara

11 Maret 2023, 19:03 WIB
Penganut Agama Baha'i hidup rukun di Tondano Sulawesi Utara /Tangkaplayar / Instagram @antaranewscom/

MANADO, Pikiran Rakyat - Hingga saat ini agama Baha'i masih belum termasuk agama yang dilindungi dari “penodaan” oleh orang lain di Indonesia.

Namun kehidupan penganut agama Baha'i di Sulawesi Utara khususnya Tondano, tetap bisa hidup rukun dan damai dengan penganut agama lain di wilayah tersebut.

Bahkan dalam beberapa kesempatan, mereka melakukan perayaan hari besar secara bebas dan dihadiri pula penganut agama lainnya.

Baca Juga: 6 Tradisi Unik Menyambut Bulan Suci Ramadhan di Berbagai Negara

Beberapa waktu lalu, seorang penganut Baha'i di Tondano Barat, Agus Basit merayakan hari ulang tahun istrinya dengan melakukan ibadah lintas iman.

Saat itu, undangan yang hadir banyak dari anggota setempat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dan warga sekitar, termasuk para pemeluk agama Kristen, Islam, Hindu, serta agama lokal Laroma.

Acara dibuka dengan lagu Indonesia Raya, yang dilanjutkan doa lintas iman. Selanjutnya refleksi Natal dari para pemuka agama lintas iman, termasuk seorang penganut Laroma, pendeta Kristen serta dari Parisada Hindu Dharma Minahasa.

Para pemuka agama lintas iman berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan rahmat sehat dan bahagia. Malika perwakilan agama Baha’i pun mendoakan agar semua orang diberikan terang, sehingga cahaya ilahi menyinari semua orang.

Setelah itu, seluruh pemuka agama yang ada melakukan pemasangan lilin perdamaian bagi semua orang, dan diakhiri jamuan kasih, dan doa dipimpin oleh perwakilan dari Syiah.

Sebagai pemeluk agama Baha’i, Agus Basit mengatakan bahwa dia maupun keempat saudaranya yang tersebar di Pekan Baru, Jakarta dan Banyuwangi, dan orang tuanya, tetap menjalankan kewajiban agama dengan bebas.

"Kami belum sampai mengalami pelarangan beribadah. Tidak juga dimusuhi orang kampung dan keluarga," katanya.

Di Tondano, Agus mengaku tetap menjalankan kewajibannya sebagai pemeluk agama Baha’i. Namun mereka belum mempunyai tempat ibadah mandiri karena penganut agama tersebut di Tondano hanya mereka sekeluarga.

Diapun menjalin hubungan dengan sesama pemeluk agama yang berbeda di Tondano, dan sering menggelar sembahyang bersama. 

“Kami bisa sembahyang di Pura apalagi diundang saudara-saudara Hindu, juga diajak berdoa oleh pendeta Kristen, kami ikut," katanya. 

Setiap perayaan hari raya agama Baha’i, rumahnya akan kedatangan banyak tamu. "Kalau tahun baru Nawruz, rumah saya kedatangan tamu, sampai ratusan orang," kata Agus.

Baca Juga: Tradisi Pungguan Masyarakat Jawa Tondano Menjelang Puasa Ramadhan

Sejarah Kehadiran Agama Baha'i di Indonesia

Dikutip dari Antaranews, Baha’i adalah agama yang berasal dari Persia yang diajarkan Baha'u'llah. Ajaran ini mengajarkan kesatuan umat manusia. Disebutkan bahwa agama ini muncul tanpa ada kaitan dengan politik Iran kala itu.

Menurut Agus Basit, sebenarnya Tuhan menurunkan wahyu-Nya kepada siapa saja, dan kebetulan kepada orang dari Persia itu.

Tahun 1844 Masehi, Sang Bab mengumumkan misi mempersiapkan umat manusia akan kedatangan Baha’u’llah yang menjadi tanda bahwa umat manusia kini berada pada ambang pintu zaman baru, kedewasaan.

Inilah suatu zaman yang secara bertahap menuntun umat manusia melihat seluruh bumi dengan semua bangsanya yang beraneka ragam, dalam satu perspektif. 

Agama Baha'i memiliki ciri khas pada ajaran Kesatuan. Melalui perintah langsung dari Tuhan, Baha’u’llah telah menjamin keberlangsungan agama itu setelah dia wafat.

Garis penerus-Nya dikenal sebagai Perjanjian Baha’u’llah terdiri dari Putra-Nya Abdu’l-Bahá, lalu diteruskan kepada cucunya Shoghi Effendi dan terakhir adalah Balai Keadilan Sedunia sesuai dengan mandat dari Baha’u’llah.

"Seorang Baha’i harus menerima dan mengakui otoritas ilahi dari Sang Bab, Baha’u’llah dan para penerus-Nya,” kata Agus.

Selanjutnya, ajaran ini menyebar dari Iran ke India, Turki dan belahan dunia lainnya termasuk Indonesia, melalui para pedagang Persia.

Pada tahun 1878, ajaran Baha'u'llah dibawa oleh dua pedagang Persia dan Turki bernama Jamal Effendi dan Mustafa Rumi ke Jawa dan Sulawesi.

Baca Juga: Yuk Intip Tradisi Unik Sambut Ramadhan oleh Masyarakat Mesir

Ajaran itu berkembang di Indonesia, bahkan sebelum Negara ini merdeka dan dianut masyarakat di Jawa dan Sulawesi kala itu.

Penyebaran agama Baha’i di Jawa terjadi lewat diskusi para pedagang dengan masyarakat lokal yang kemudian tertarik karena sikap para pedagang itu berbeda. "Dari situlah kemudian diterima dan dianut masyarakat kala itu," kata Agus.

Pada masa penjajahan, masyarakat sudah memeluk agama Baha'i, terutama di Jawa dan Sulawesi Selatan. Kondisi itu bertahan hingga awal kemerdekaan Indonesia sampai tahun 1950-an.

Setelah itu, pada tahun 1960-an Baha’i berubah menjadi agama yang tidak dilindungi pemerintah, bahkan dikategorikan sebagai organisasi terlarang, yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) nomor 264 tahun 1962.***

Editor: Sahril Kadir

Tags

Terkini

Terpopuler