Sepakbola dan Kemanusiaan

- 14 Maret 2023, 10:25 WIB
Penulis: Imam Muhlisin
Penulis: Imam Muhlisin /Dok. Pribadi/

SIAPA yang tidak mengenal sepakbola, salah satu olahraga dengan pendukung terbesar di jagat raya yang sering diidentikkan dengan olahraga paling dekat dengan kemanusiaan.

Banyak kisah dalam sepakbola yang menggambarkan hal itu. Di antaranya kisah legenda Pantai Gading Didier Drogba, yang berhasil menghentikan perang saudara di negaranya yang sudah berlangsung sejak lama.

Kisah ini terjadi pada kualifikasi Piala Dunia 2006, tepatnya 8 Oktober 2005. Saat itu adalah laga terakhir grup 3, dimana Pantai Gading berada di posisi dua klasemen sementara bertandang ke Sudan.

Baca Juga: Ditahan Persita, PSM Makassar Bisa Pastikan Juara BRI Liga 1 di Pekan 32

Pada laga itu, Pantai Gading wajib menang untuk menjaga asa agar lolos ke Piala Dunia pertamanya. Alhasil laga Kamerun vs Mesir berakhir imbang 1-1, dan Pantai Gading menang atas Sudan dengan skor 3-1.

Kemenangan tersebut disambut dengan euforia oleh warga Pantai Gading, sehingga mereka larut dan lupa akan perang saudara dan berlanjut dengan perjanjian damai dan gencatan senjata pada 4 Maret 2007.

Kisah kemanusiaan lainnya masih berasal dari Afrika. Tepatnya di Senegal yaitu Sadio Mane. Bintang Munchen tersebut tercatat telah membangun beberapa fasilitas umum di negaranya dengan biaya pribadi yang berasal dari gajinya bermain sepakbola.

Di antaranya adalah sebuah rumah sakit dengan estimasi biaya sebesar 445 ribu poundsterling atau sekitar Rp 8 miliar.

Mane juga membangun sekolah dengan biaya 250 ribu euro atau sekitar Rp 3,9 miliar. Tak hanya itu, ia juga membangun Kantor Pos, Masjid, SPBU dan jaringan internet 4G di kampung halamannya, Bambali.

Itulah sederet kisah kemanusian dalam sepakbola. Akan tetapi, sepakbola tidak hanya murni olahraga yang selalu bersikap netral. Sadar atau tidak, di sana ada kepentingan politik yang terselubung.

Pada saat perhelatan Piala Dunia Qatar tahun 2022 lalu misalnya, negara-negara Eropa dan barat protes ke federasi sepakbola dunia (FIFA), yang mana mereka meminta agar Timnas Rusia tidak diikut sertakan dalam ajang empat tahunan tersebut.

Akhirnya, dengan alasan kemanusiaan dan kejahatan atas invasi yang dilakukan terhadap Ukraina, timnas Rusia diberikan sanksi dengan dicoret atau tidak diperbolehkan mengikuti Piala Dunia Qatar.

Well, alasan ini sangat masuk akal dan tentu sebagai manusia, kami sangat setuju. Setidaknya akan memberikan efek jera dan mungkin akan menumbuhkan rasa empati.

Tapi anehnya, pada perhelatan piala dunia U-20 yang akan digelar di Indonesia kali ini, salah satu pesertanya adalah negara yang menginvasi Palestina sejak tahun 1948, kurang lebih 75 tahun kalau dihitung, dan telah menelan korban ribuan bahkan jutaan nyawa.

Nah lucu kan? Tapi dari sinilah kita tahu, letak sisi politis dunia sepakbola, dimana ada kesan keberpihakan yang dilakukan oleh federasi sepakbola dunia terhadap negara tertentu, sekalipun mereka memiliki kasus kejahatan yang sama atau bahkan lebih besar dari negara lainnya.

Jika memang ingin memandang sepakbola dari sisi kemanusiaan, maka harus adil. Negara yang melakukan invasi ke negara lain, semuanya adalah penjahat dan harus diberikan sanksi.

Yakni dengan tidak boleh mengikuti perhelatan sepak bola, yang berada di bawah naungan resmi federasi sepakbola dunia. Jika tidak, maka ini terkesan diskriminatif dan bertendensi politis.***

Penulis adalah pengamat sepakbola

Editor: Sahril Kadir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

x